Adapunpemberlakuan hukum yang beraneka macam, yaitu: Algemene Bipalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB), artinya peraturan umum perundang-undangan untuk Indonesia, yang dikeluarkan pada 30 April 1847 Stb.1847 Nomor 23. Regering Reglement (RR) dikeluarkan pada 2 September 1854 Stb. 1854 Nomor 2.
Hukum Islam telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia seiring dengan masuknya agama tersebut di bumi Nusantara. Dan masyarakat Islam Indonesia sepenuhnya menerima Hukum Islam sebagai satu kesatuan Hukum yang mengatur kehidupan mereka. Seiring perjalan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang mengayomi sebagian besar penduduk Indonesia telah banyak mengalami perkembangannya dalam bentuk yang beraneka ragam. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free AL-QISTHU Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Hukum 2019, p-ISSN 1858-1099 e-ISSN 2554-3559 DOI 65 Kedudukan Hukum Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan Emizola Emizola Institut Agama Islam Negeri Kerinci Article Info Revised July 25, 2018 Accepted September 12, 2018 Published online December 30, 2018 Kata Kunci/Keywords Hukum Islam, Penjajah, kemerdekaan Abstract/Abstrak Hukum Islam telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia seiring dengan masuknya agama tersebut di bumi Nusantara. Dan masyarakat Islam Indonesia sepenuhnya menerima Hukum Islam sebagai satu kesatuan Hukum yang mengatur kehidupan mereka. Seiring perjalan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang mengayomi sebagian besar penduduk Indonesia telah banyak mengalami perkembangannya dalam bentuk yang beraneka ragam. Pendahuluan Sistem hukum Indonesia sebagai akibat dari perkembangannya, bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di dalam Negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan sistem sendiri, yakni sistem Hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem Hukum Barat. Ketiga sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia, pada waktu yang berlainan. Hukum Adat telah lama ada dan berlaku di Indonesia, kendatipun baru dikenal sebagai sistem hukum pada permulaan abad ke-20 ini. Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam pertama datang dan bermukim di Nusantara ini. Menurut Kesimpulan Seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan, 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau pada abad ketujuh/ kedelapan Masehi. Daerah yang pertama didatangi adalah pesisir Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Hukum Barat mulai diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah VOC Vereenigde Oost-Indische Compagnie setelah menerima kekuasaan untuk berdagang dan menguasai’ kepulauan Indonesia dari pemerintah Belanda pada tahun 1602 Taufik Abdullah & Sharon Siddique, 1988. Mula-mula Hukum Barat itu hanya diberlakukan terhadap orang-orang Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian dengan berbagai peraturan dan upaya, Hukum Barat itu dinyatakan berlaku bagi orang Asia dan dianggap berlaku juga bagi orang Indonesia yang menundukkan dirinya pada Hukum Barat dengan suka rela atau karena melakukan suatu perbuatan hukum tertentu di lapangan keuangan, perdagangan dan ekonomi. Ketiga sistem hukum itu diakui oleh perundang-undangan, tumbuh dalam masyarakat dan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktek peradilan. Sejarah Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia Mengenai kedudukan Hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia yang bersifat majemuk itu dapat ditelusuri dalam uraian berikut Ketika singgah di Samudra Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah mengagumi perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al Malik Al-Zahir berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fiqih. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain berbagai seorang seorang raja. Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasei ketika itu adalah juga seorang fuqaga yang mahir tentang hukum Islam. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. ©2018 by author 66 Al-Qishthu, Vol. 6 No. 2, 2018 Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci Yang dianut di kerajaan Pasei pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab Syafi’i Syaifuddin Zuhri, 1979. Menurut Hamka, dari Paseilah disebarkan faham Syafi’I ke kerajaan-kerajaan Islam lainya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri 1400-1500 M para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasei untuk meminta kata putus mengenai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat Hamka, 1976. Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan olah para saudagar melalui perdagangan dan perkawina. Peranan hukum Islam adalah besar Al-Naqulb, 1981. Ketika seorang saudagar muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi misalnya, wanita itu diIslamkan lebih dahulu dan pernikahannya kemudian dilangsungkan menurtu ketentuan hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan antar anggota-anggotanya dengan kaidah-kaidah hukum Islam atau kaidah-kaidah lama yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Pembentukan keluarga yang kemudian berkembang menjadi masyarakat Islam yang baru itu memerlukan pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun bagi orang-orang yang telah dewasa. Secara tradisional, biasanya, pelajaran agama yang diberikan pada waktu itu adalah 1 ilmu kalam, 2 ilmu fiqh dan 3 ilmu tasawwuf. Dengan sistem pendidikan yang demikian, menyerah ajaran Islam ke seluruh kepulauan Indonesia secara damai Hamka, 1974. Setelah ajaran isla berakar dalama masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal hukum Islam. Untuk menyebut sekadar contoh dapat dikemukakakn nama Nuruddin ar-Raniri yang hidup pada abad ke -17 menulis buku hukum Islam dengan judul Sirathal Mustaqim jalan lurus pada tahun 1628. menurut Hamka, kitab hukum Islam yang ditulis oleh raniri in merupakan kitab hukum Islam yang pertama disebarkan ke seluruh Indonesia. Oleh syech arsyad banjari, yang menjadi Mutfi di banjarmasin, kitab hukum Sirathal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan banjar. Di daerah kesultanan palembang dan banten, diterbitkan pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh ummat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah hidup dan kehidupan mereka Hamka, 1974 Hukum Islam didikuti dan dilaksanakan juga oleh para pemeluk agama Islam dalam kerajaan-kerajaan Demak, Japara, Tuban, Gresik, Ngampel dan kemudian Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup pada masa itu, diantara karya tersebut dapat disebut misalnya kutaragama, sajinatul Hukum dan lain-lain Moch. Koesnoe, 1982. Dari beberapa contoh dan uraian singkat diatas dapatlah ditarik suatu keimpulan bahwa sebelum belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adapt penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini. Menurut Soebardi, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normative dalam kebudayaan Indonesia Kusumadi, 1990. 1. VOC Vereenigde Oost-Indische Compagnie Pada akhir abad ke-16 1596 organisasi perusahaan dagang Belanda VOC merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula adalah untuk berdagang, namun kemudian haluannya berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC itu untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah Supono, 1955 Untuk memantapkan pelaksanaan kedua fungsinya itu VOC menggunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya kemudian, VOC membentuk badan-badan peradilan untuk bangsa Indonesia. Namun, karena di dalam praktek susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan, VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Demikianlah misalnya, karena di Kota Jakarta dan sekitarnya Hukum Belanda yang dinyatakan berlaku untuk semua Bangsa itu tidak dapat dilaksanakan, pemerintah, VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari Supono, 1955 67 Emizola Emizola Kedudukan Hukum Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci Berdasarkan pada pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta kepada Frejjer untuk menyusun suatu Compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam, kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah VOC 1760 dan digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan ummat Islam di daerah-daerah yang dikuasai VOC. Kitab hukum yang disusun oleh Freijer itu dalam kepustakaan terkenal dengan nama Compendium Freijer Supomo, 1955. Di samping Compendium Freijer banyak lagi kitab hukum yang dibuat pada zaman VOC diantaranya ialah 1 kitab hukum Moghrarraer untuk pengadilan negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah kitab perihal hukum-hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum Islam Muharrar di dalamnya dikumpulkan hukum Tuhan, hukum alam dan hukum anak negeri untuk digunakan oleh Landraad pengadilan negeri Semarang untuk memutuskan perkara perdata dan pidana yang terjadi di kalangan rakyat penduduk daerah itu. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana Islam Supomo, 1955. Selain itu, ada juga kitab hukum lain yang dibuat pada zaman VOC yakni 2 Pepakem Cirebon yang berisi kumpulan hukum Jawa yang tua-tua’ yang diterbitkan kembali oleh Dr. Hazeu pada tahun 1905, Soekanto, 1981 dan 3 peraturan yang dibuat untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi Selatan atas prakarsa Clooktwijk. Posisi Hukum Islam pada zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang dua abad lamanya 1602-1800 2. Peralihan Kekuasaan dan Perubahan Sikap Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan colonial Belanda mulai menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap Hukum Islam mulai berubah namun, perubahan itu dilaksanakan secara perlahan berangsur-angsur. Pada zaman Deandels 1808-1811 perubahan itu masih belum dimulai. Pada masa itu umumlah pendapat yang mengatakan bahwa Hukum Islam adalah hukum asli orang pribumi. Karena pendapat yang demikian, Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal hukum agama orang Jawa tidak boleh diganggu dan hak-hak penghulu mereka untuk memutus beberapa macam perkara tentang perkawinan dan kewarisan harus diakui oleh alat kekuasaan pemerintah Belanda. Di samping itu, ia juga menegaskan kedudukan para penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam yaitu hukum asli orang Jawa dalam susunan badan peradilan yang dibentuknya, sebagai penasehat dalam suatu masalah atau perkara Supomo, 1955. Inggris Waktu Inggris menguasai Indonesia 1811-1816 keadaan tidak berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris untuk kepulauan Indonesia pada waktu itu menyatakan bahwa hokum yang berlaku di kalangan rakyat adalah hukum Islam. Ia mengatakan “the Koran…forms the general law of Java” Supomo, 1955. Setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda berdasarkan Konvensi yang ditandatangani di London pada tanggal 13 Agustus 1814, pemerintah colonial Belanda membuat suatu Undang-undang tentang kebijaksanaan Pemerintah, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahan-nya di Asia. Undang-undang ini mengakibatkan perubahan di hamper semua bidang hidup dan kehidupan orang Indonesia, termasuk bidang hokum yang akan merugikan Hukum Islam selanjutnya. Menurut Benda, pada abad ke-19 banyak orang Belanda, baik dinegerinya sendiri maupun di Hindia Belanda, sangat berharap segera dapat menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, di antaranya melalui proses Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang superioritas agama Kristen terhadap agama Islam dan sebagian lagi berdasarkan kepercayaan bahwa sifat sinkretik agama Islam di pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam Indonesia di Kristenkan jika dibandingkan dengan mereka yang berada di Negara-negara muslim lainnya. Banyak orang Belanda yang berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan menguntungkan negeri Belanda karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya hubungan agama mereka dengan agama pemerintahannya, setelah mereka masuk Kristen, akan menjadi warga Negara yang loyal lahir batin Benda, 1968. Selain itu untuk mengekalkan kekuasaannya di Indonesia, pada bagian kedua pertengahan abad yang lalu, pemerintah kolonial Belanda mulai melaksanakan apa yang dibseut dengan politik hukum yang sadar 68 Al-Qishthu, Vol. 6 No. 2, 2018 Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci terhadap Indonesia. Yang dimaksud dengan politik hukum yang sadar adalah politik hukum yang dengan sadar hendak menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan Hukum Belanda Soetandyo, 1995. Politik ini didorong oleh keinginan untuk melaksanakan di Indonesia kodifikasi hukum yang terjadi di negeri Belanda pada tahun 1838 berdasarkan anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik daripada hukum yang telah ada di Indonesia. Untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem yang bertugas antara lain untuk melakukan penyesuaian undang-undang Belanda itu dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda. Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi ketua komisi tersebut menulis sebuah nota kepada pemerintah Belanda, yang berbunyi antara lain bahwa “untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap orang bumiputera dan agama Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan hukum agama serta adat-istiadat mereka. Mungkin pendapat schoolten inilah yang menyebabkan pasal atau Regeering Reglement Peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda menjalankan kekuasaannya di Indonesia 1855 menginstruktikan kepada pengadilan untuk menggunakan “undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan” mereka, kalau golongan bumiputera yang bersengketa, sejauh undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu tidak bertentangan dengan asas-asas kepatuhan dan keadilan yang diakui umum. Yang dimaksud disini adalah asas-asas kepatuhan dan keadilan Hakim-hakim Belanda yang menguasai peradilan pada masa itu. 3. Receptio in Complexu dan Teori Receptie Pendapat Scholten can Oud Haarlen tersebutlah yang mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura kemudian 1882, karena di dalam pasal 78 ayat 2 itu ditegaskan bahwa hal terjadi perkara perdata antara sesama orang bumiputera atau dengan yang disamakan dengan mereka, maka mereka itu tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka Sajuti Thalib, 1980. Di kalangan ahli hukum dan kebudayaan Hindia Belanda dianut suatu pendapat yang menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Salomon Keyzer 1823-1868, seorang ahli bahasa dan ahli kebudayaan Hindia Belanda. Ia banyak menulis tentang hukum Islam di Jawa dan bahkan menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Belanda. Pendapat Salomon Keyzer tentang hukum Islam yang berlaku di kalangan orang-orang jawa Indonesia itu dikuatkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg 1845-1927. Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya. Pendapat ini sesuai dengan Regeerings Reglement pasal 109, maka untuk memudahkan para pejabat pemerintah Hindia Belanda mengenal hukum Islam yang berlaku di kalangan rakyat pemeluk agama Islam di Jawa terutama, pada tahun 1884 ia menulis asas-asas hukum Islam menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i. delapan tahun kemudian 1892 terbitpula tulisannya tentang hukum keluarga dan hukum kewarisan Islam di Jawa dan Madura dengan beberapa penyimpangan. Diusahakannya juga agar hukum Islam dijalankan oleh hakim-hakim belanda dengan bantuan penghulu atau qadhi Islam. Karena pendapat dan karyanya itu, LWC van den Breg disebut sebagai orang yang menemukan dan memperhatikan berlakunya hukum Islam di Indonesia. Menurut van den breg orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan Reception in complexu. Ini berarti bahwa menurut Van Den Breg yang diterima oleh orang isalam Indonesia itu tidak hanya bagian-bagian hukum Islam tetapi keseluruhannyasebagai satu kesatuan. Karena itu pula pendapat Van Den Breg ini disebut dengan theorie reception in complexu Sayuti Thalib, 1980. Christian Snouck Hurgronje 1857-1936 penasehat pemerintah hindia belanda urusan Islam dan bumiputera, menentang ajaran teori reception in complexu yang dikemukakan oleh LWC van de breg tersebut. Berdasarkan penyelidikannya terhadap orang-orang Aceh dan Gajo di Banda Aceh sebagaimana termuat dalam bukunya De Atjehers dan Het Gajoland, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam 69 Emizola Emizola Kedudukan Hukum Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalu telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan theorie reseptie yang mempunyai banyak pengikut di kalangan para sarjana hukum, lebih-lebih setelah teori itu dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh Cornelis Vaan Vollenhoven dan Betrand Ter Haar Bzb serta dilaksanakan dalam praktek oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya. 4. Kritik terhadap teori resepsi Teori resepsi yang mula-mula dicetuskan oleh Christian Snouck Hurgronje ini mendapat tantangan dari pemikir hukum Islam di Indonesia. Menurut mereka, teori yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje itu mempunyai maksud-maksud politik untuk mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan pemerintah kolonial yang dijiwai oleh hukum Islam. Dengan teori itu, kata mereka, belanda hendak mematikan pertumbuhan hukum Islam dalam masyarakat yang dilaksanakan sejalan dengan pengejaran dan pembunuhan terhadap pemuka dan ulama-ulama besar Islam seperti di Aceh, misalnya Sayuti Thalib, 1980. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau setelah Indonesia merdeka banyak kritik yang dialamatkan pada resepsi itu dan pada tokohnya, terutama Betrand ter haar. Professor hazairin almargum 1905-1975 seorang ahli hukum adapt dan hukum Islam terkemuka dari fakultas universitas Indonesia salah seorang murid Ter Haar, tetapi tidak sepaham dengan ajaran yang dikembangkan oleh gurunya itu menyatakan bahwa teori resepsiyang diciptakan oleh kekuasaan colonial belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia adalah teori iblis karena menajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan sunnah rasul-Nya. Menurut teori resepsi, demikian Hazairin, hukum Islam Ansich bukanlah hukum kalau hukum Islam itu belum diterima ke dalam dan menjadi hukum adat. Dan kalau telah ditermia oleh hukum adat setempat. Hukum Islam yang demikian, tidak dapat lagi dikatakan hukum Islam, tetapi hukum adat. Hukum adalah yang menentukan apakah hukum itu hukum atau bukan Hazairin, 1964. Professor Hazairin menunjuk teori resepsi mengenai kewarisan yang sangat menmgganggu dan menentang Iman orang Islam. Menurut penganut teori resepsi itu, orang Islam di Jawa dan Madura hanya ditundukkan pada hukum fara’id kalau mereka berbagi warisan di depan Raad atau pengadilan agama. Kalau mereka berbagiwarisan di bawah tangan di desanya, mereka membagi harta peninggalan itu menurut hukum adat. Kenyataan ini dijadikan bukti oleh penganut teori resepsi itu untuk mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima oleh hukum adat jawa. Karena pandangan dan saran pengaut teori resepsi inilah pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisis untuk meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad agama di Jawa dan Madura yang sejak tahun 1822 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang-orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Komisi yang diketuai oleh Ter Haar BZN ini memberi rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang pengadilan agama. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum di terima sepenuhnya oleh hukum adat, maka dengan dicabutlah wewenang Raad atau pengadilan agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Dan, demikianlah, kata Hazairin, dengan Staatsblad tahun 1937 itu, usaha giat raja-raja Islam di jawa menyebarkan hukuIslam dikalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1 April 1937 Hazairin, 1964. 5. Pengadilan Agama Pengadilan adalah lambang kekuasaan. Pengadilan agama di Indonesia adalah lambing kedudukan hukum Islam dan kekuasaaan umat Islam di Indonesia. Sebagai perwujudan dari lembaga peradilan. Pengadilan agama telah sejak lama ada di nusantara ini. Bentuknya mengalami perubahan dan perkembangan. Dalam masa-masa permulaan Islam datang di Indonesia. Ketika pemeluk agama Islam hidup di dalam masyarakat yang belum mengenal ajaran Islam, jika terjadi sengketa antara pemeluk agama Islam, mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan keIslaman yang dianggap mampu menyelesaikan sengketa itu. Ini dapat juga terjadi mengenail soal-soal yang bukan persengketaan, seperti misalnya pelaksanaan aqad nikah seorang wanita yang tidak mempunyai wali dalam perkawinan. Dalam Islam, bentuk peradilan agama seperti itu disebut tahkim. 70 Al-Qishthu, Vol. 6 No. 2, 2018 Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci Setelah kelompok-kelompok masyarakat Islam mengatur dirinya dalam susunan pemerintahan di dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, para raja-raja dan sultan negeri itu mengangkat orang-orang yang mempunyai pengetahuan tertentu untuk menyelesaikan suatu sengketa. Bentuk peradilannya bermacam-macam yang dapat dilihat, misalnya dalam susunan pengadilan di daerah-daerah peradilan adat dahulu di Sumatera Selatan, Aceh dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan Kalimantan Timur serta Sulawesi Selatan. Dalam kerajaan Mataram dahulu, jabatan keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jabatan pemerintahan pada umumnya. Ditingkat kecamatan, kabupaten dan dipusat kerajaan ada pejabat keagamaan yang disebut penghulu. Para penghulu ini berfungsi juga sebagai hakim atau qadhi yang bertugas menyelesaikan sesuatu sengketa. Karena mereka menyelenggarakan siding-sidangnya di serambi mesjid, pengadilan itu disebut “pengadilan serambi”. Fungsi penghulu ini tetap ada kendatipun kemudian secara berangsur-angsur wilayah Mataram jatuh ke tangan pemerintah Kolonial Belanda. Mulai tahun 1830, setelah pemerintah Belanda menguasai kepulauan Indonesia, pengadilan Agama yang telah ada di Jawa sejak abad ke-16 itu ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan kolonial yakni Landraad atau Pengadilan negeri melalui ketentuan bahwa keputusan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum Ketua Landraad menyatakan persetujuannya atas pelaksanaan keputusan itu dengan “executoire verklaring” pernyataan dapat dijalankan. Pada tahun 1882 pemerintah kolonial Belanda menata Pengadilan Agama. Pengadilan yang diselenggarakan oleh para penghulu itu disebut Priesterraad majelis atau Pengadilan Pendeta karena Belanda menganggap penghulu itu sama dengan pendeta dalam agama Kristen. Didirikan di setiap kabupaten di mana terdapat Pengadilan Negeri atau Landraad. Dalam percakapan sehari-hari Priesterraad disebut Raad Agama, suatu istilah yang sampai sekarang masih terdengar di sana-sini. Susunan hakimnya kolegial, terdiri dari seorang penghulu sebagai Ketua dengan 3 sampai 8 penghulu lainnya sebagai anggota. Wewenangnya tidak disebutkan dalam staatblad tahun 1882 nomor 153 itu, mungkin karena dianggap bahwa kekuasaannya sudah jelas yakni menyelesaikan soal-soal yang berkenaan dengan masalah keluarga perkawinan dan kewarisan serta wakaf. Keputusannya tetap tidak boleh dilaksanakan sendiri, tetapi harus dengan fiat executive setuju dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Agama. Adanya pengadilan Agama di samping Pengadilan Negeri itu dikecam oleh Snouck Hurgronje. Menurut Snouck Hurgronje kebijaksaaan pemerintah Belanda untuk mengakui dan mengadakan Pengadilan Agama di samping Pengadilan Negeri merupakan “kekeliruan yang patut disesalkan”, karena dengan demikian, menurut Snouck Hurgronje, perkembangan Hukum Islam akan terarah dan diakui, sedang ia sendiri menghendaki Hukum Islam harus dibiarkan begitu saja tanpa suatu pengakuan resmi secara tertulis dari pejabat peradilan Negara yang dibebani tugas mengawasinya melalui executoire verklaring Taufik Abdullah & Sharon Siddique, 1988. Kritik yang dilancarkan oleh Christian Snouck Hurgronje mengenai Pengadilan Agma itu mempengaruhi para pejabat kolonial. Sementara itu para ahli hukum adat seperti Van Volenhoven, Terr Haar yang menguasai arena politik hukum Belanda pada permulaaan abad ke-20 telah pula berhasil meletakkan landasan kodifikasi hukum adat dan menarik simpati orang belanda yang tidak senang kepada Islam. Karena itu, atas pengaruh dari kelompok ini, pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali kedudukan dan wewenang Raad Agama. Tugas dan susunan komisi ini tidak disenangi ummat Islam. Sebab selain wakil-wakil umat Islam yang duduk dalam komisi itu tidak seimbang dengan wakil-wakil Belanda dan orang-orang Indonesia yang diangkat oleh Belanda untuk mewakili kepentingannya, juga dalam komisi tersebut duduk Belanda ter Haar, penyebar da pembela aktif tori resepsi Taufik Abdullah & Sharon Siddique, 1988. Demikianlah, komisi yang pada hakekatnya dikuasai sepenuhnya oleh Betrand Ter Haar itu berhasil melaksanakan tugasnya dan memberi rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama. Nama Priesterraad dianjurkan oleh mereka diganti dengan Penghulu Gereht Pengadilan Penghulu yang terdiri dari penghulu sebagai hakim, dibantu oleh sebanyak-banyaknya dua orang penasehat dan seorang peradilan akan mendapat gaji tetap untuk mencegah pemungutan biaya tambahan yang sering dipungut oleh para pejabat pengadilan Agama dari mereka yang bersengketa sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang tidak digaji tetap pada 71 Emizola Emizola Kedudukan Hukum Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci waktu itu. Disarankan juga oleh Komisi untuk membentuk sebuah Mahkamah Islam Tinggi sebagai peradilan banding bagi keputusan-keputusan semua Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Masalah adalah, inti dari saran yang dikemukakan oleh komisi tersebut menyangkut wewenang Pengadilan Agama, yakni pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk mengadili masalah wakaf dan masalah kewarisan. Menurut pendapat para pemimpin Islam, pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk mengadili masalah kewarisan itu merupakan langkah mundur ke zaman jahiliyah’ dan dipandang menentang sendi-sendi iman orang Islam. Menurut Daniel S. Lev, yang menjadi kekuatan penggerak di belakang usaha mengubah wewenang Pengadilan Agama itu adalah Ter Haar dan para peminat ahli Hukum Adat yang berkerumun disekitarnya di Sekolah Tinggi Hukum RHS di Jakarta Batavia dan di sekitar Van Vollenhoven di Leiden Daniel, 1972. Dengan menggunakan momentum yang tepat untuk menegakkan Hukum Adat dan merubuhkan Hukum Islam, Ter Haar dan teman-temannya mengemukakan dalih bahwa dalam kenyataannya Hukum Islam pengaruhnya tidak mendalam pada aturan-aturan kewarisan di Jawa dan dimanapun juga di Indonesia. Menurut mereka Hukum Islam mengenai kewarisan sedikit sekali hubungannya dengan rasa keadilan Hukum masyarakat Indonesia, karena hukum kewarisan Islam itu bersifat individual sedangkan hukum kewarisan adat bersifat komunal. Menurut mereka, karena Hukum Islam mengenai kewarisan belum sepenuhnya diresepai atau diterima oleh Hukum Adat Jawa, maka wewenang untuk mengadili dan memutus perkara kewarisan itu menurut Hukum Adat yang sesuai dengan keadilan hukum masyarakat setempat Staatsblad nomor 153 tahun 1931 yang menjadi dasar pembentukan Pengadilan penghulu dan mengubah susunan serta wewenang Pengadilan Agama ditangguhkan, karena pemerintah Kolonial Belanda merasa tidak mempunyai uang untuk menggaji para Hakim Agama. Selain itu, mungkin juga penangguhan itu disebabkan reaksi-reaksi kalangan Islam. Pada tahun 1937, dengan S. 1937 nomor 116, wewenang mengadili perkara kewarisan dialihkan dari pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Namun, menurut penelitian Daniel S. Lev, setelah pengalihan wewenang itu, tidak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Landraad lebih tepat mengadili perkara kewarisan dari pada Pengadilan Raad Agama Daniel, 1972. Tidak pula dapat dibuktikan bahwa Landraad-landraad itu dalam kenyataannya lebih mampu menerapkan Hukum adat yang sesuai dari pada Pengadilan Agama. Ini disebabkan antara lain karena kebanyakan para Hakim Landraad itu adalah orang Belanda yang tidak mengetahui Hukum Adat yang sebenarnya, sehingga dalam keputusannya selalu terlihat kecendrungan untuk menyelipkan konsep-konsep keadilan ala Eropa. Demikianlah, begitu penyerahan wewenang itu dilakukan, segera timbul masalah. Landraad atau Pengadilan Negeri Bandung yang kebanyakan Hakimnya adalah orang Belanda memutuskan suatu perkara dalam kasus kewarisan seorang yang meninggal dunia tidak mempunyai anak kandung, tetapi mempunyai anak yang meninggal dunia tidak mempunyai anak kandung, tetapi mempunyai anak angkat dan beberapa orang kemenakan. Anak angkatnya itu menuntut seluruh harta peninggalan Bapak angkatnya. Ia mengaku dirinya sebagai satu-satunya ahli waris dari bapak angkatnya yang telah meninggal dunia itu. Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan tuntutan tersebut dan memberikan seluruh harta peninggalan itu kepadanya. Dengan demikian, sebagai anak angkat, ia mengesampingkan semua kemenakan pewaris, baik kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan. Keputusan Landraad Bandung ini menimbulkan heboh. Timbullah reaksi dari organisasi Islam. Sebagai contoh, misalnya reaksi Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya PPDP yang mengadakan Kongres di Surakarta pada tanggal 16 Mei 1937. Dalam kongres itu para penghulu dengan tegas menyatakan bahwa keputusan Landraad Bandung itu jelas-jelas bertentangan dengan Hukum Islam. Gabungan organisasi-organisasi Islam, Majelis Islam A’la Indonesia MIAI pu memerotes kehadiran S. 1937 Nomor 116 yang menjadi sumber kehebohan itu. Menurut MIAI, Staatsblad 1937 nomor 116 itu telah menggoyahkan kedudukan Hukum Islam dalam masyarakat Islam Indonesia. Pada muktamarnya di Surabaya tahun 1938, MIAI menyatakan dengan tegas bahwa “mempersempit kaum muslimin menjalankan hukum agamanya merupakan perkosaan terhadap Islam. Kyai Adnan, seorang hakim agama terkemuka yang menjadi salah seorang pemimpin PPDP dalam salah satu kesempatan bertemu dengan Dr. Pijper yang menjadi penasehat Belanda urusan pribumi pada waktu itu 22 Juli 1940 dengan tegas menyatakan bahwa 1 penerapan hukum adat dalam perkara-perkara kewarisan bagi masyarakat Islam Indonesia, merusak hubungan hidup kekeluargaan Islam. Selain itu, katanya pula, 2 menurut Sunnah Nabi Muhamad, aturan-aturan kewarisan merupakan bagian dari Agama 72 Al-Qishthu, Vol. 6 No. 2, 2018 Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci Islam. Karena itu kalau seorang muslim tidak dapat mengikuti atau melaksanakan hukum kewarisan yang merupakan bagian dari Agamanya itu, ini berarti bahwa kemerdekaannya untuk melaksanakan agamanya telah dibatasi Daniel, 1972. Pembicaraan Kyai Adnan dan usaha PPDP serta MIAI untuk mencegah pelaksanaan nomor 116 itu lebih lanjut, ternyata tidak dihiraukan oleh Pemerintah Belanda. Staatsblaad baru itu tetap berlaku dan dilaksanakan walaupun mendapat protes dan tantangan dari kalangan Islam. Walaupun secara resmi Pengadilan Agama telah kehilangan kekuasaannya atas perkara kewarisan sejak tahun 1937, namun menurut Daniel S. Lev, Pengadilan Agama di Jawa masih tetap menyelesaikan perkara-perkara kewarisan dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Dalam kenyataan banyak pengadilan Agama yang menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu khususnya untuk menerima masalah-masalah kewarisan. Di beberapa daerah, Pengadilan Agama bahkan menerima perkara kewarisan lebih banyak dari pada Pengadilan Negeri. Ungkapan Daniel S. Lev itu dibuktikan juga oleh penelitian Ny. Habibah Daud, di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Menurut hasil penelitian itu, pada tahun 1976, dari orang yang mengajukan masalah kewarisan pada Pengadilan di Jakarta, 47 orang 4,35 % memadukan masalahnya pada Pengadilan Negeri, 1034 orang 96,65 % pada Pengadilan Agama Taufik Abdullah & Sharon Siddique, 1988. Ada dua kategori masalah kewarisan yang dihadapkan kepada Pengadilan Agama di Indonesia. Kategori pertama adalah perkara yang sebelumnya tidak ada persengketaan yang terjadi di dalamnya. Bila seorang meninggal dunia, keluarga yang ditinggalkannya memohon bantuan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama akan memberikan fatwa nasehat kepada para pemohon dengan menentukan siapa atau siapa-siapa yang menjadi ahli wars dan berapa bagian masing-masing. Tidak ada peraturan mengenai fatwa waris ini. Ia tumbuh dan berkembang dari kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mula-mula tidak mempunyai bentuk, tapi kemudian fatwa itu diberikan bentuk tertulis dan disebut Surat keterangan tentang pembagian Mal Waris harta warisan dengan pendamaian. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dapat mencakup dan menyelesaikan jenis-jenis persoalan kewarisan apa saja yang dimohon oleh yang berkepentingan. Bukan hanya siapa dan berapa bagian masing-masing, tetapi juga kalau para ahli waris itu menghendakinya. Haklim Pengadilan Agama dapat membantu mereka melaksanakan pembagian itu bagian demi bagian. Hibah dan wasiat juga dapat diselesaikan dengan bantuan Hakim Pengadilan Agama. Ini semua berjalan. Walaupun secara formal Pengadilan Agamadi jawa dan madurtidak mempunyai wewenang hukum untuk melakukan tindakan hukum atas perkara-perkara itu. Namun, atas dasar bantuan hukum tidak resmi ini Pengadilan Agama mampu dan benar-benar dapat menyelesaikan tugasnya atas perkara-perkara kewarisan. Dan fatwa-fatwa Pengadilan Agama itu selalu didasarkan pada Hukum Islam. Sementara itu perlu dicatat bahwa di Jawa sudah sejak lama fatwa-waris Pengadilan Agama diterima oleh notaries dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntunan yang berkenaan dengan itu. Demikian juga halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di kantor Agraria. Kategori kedua adalah yang benar-benar bersifat persengketaan. Pada Pengadilan Agama diterima di Jawa dan Madura, dimana Hakim dan paniteranya bersikap tormal-birokratis, persengketaan kewarisan yang diajukan kepada mereka biasanya segara diteruskan kepada Pengadilan Negeri. Namun, sering terjadi, para hakim Agama menerima perkara-perkara itu dan mencoba memutuskannya. Tetapi dalam penyelesaian ini ada yang kalah ada yang menang. Yang kalah mungkin akan mengambil keputusan untuk mengajukan persengketaanya ke Pengadilan Negeri. Para hakim agama yang menyelesaikan masalah kewarisan yang diajukan kepadanya itu, dalam prakteknya, sering berperan sebagai pemutus perkara bukan sebagai pemberi fatwa/nasehat saja. Akibatnya fatwa waaris itu sering tampak sebagai suatu keputusan dan memang demikianlah dianggap oleh para pihak yang berkepentingan. Namun, karena fatwa itu sendiri tidak dapat dipaksakan, Pengadilan Agama di Jawa selalu berusaha mempertemukan pihak yang berkepentingan pada suautu bentuk perdamaian. Sehingga fatwa itu mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Sebagai suatu bentuk perdamaian dan bukan semacam keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan fatwa waris dalam bentuk ini dapat dikuatkan oleh Pengadilan Negeri Daniel, 1972. Peranan hakim agama seperti yang dikemukakan diatas disebabkan mereka yakin bahwa wewenang mengadili perkara kewarisan seyongyanya ada pada Pengadilan Agama seperi sebelum 1 April 1937. 73 Emizola Emizola Kedudukan Hukum Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci Dari uraian di atas jelas agaknya bahwa Pengadilan Agama benar-benara telah menyelesaiknay banyak sekali soal kewarisan. Karena itu, dapat diajukan pertanyaan. Mengapa rakyat Indonesia yang beragama Islam pergi ke Pengadilan Agama, tidak hanya sekedar meminta fatwa tetapi juga meminta keputusan tentang kewarisan? Jawabannya mungkin terletak pada keadaan dan sikap masyarakat sendiri terhadap masalah tersebut. Beikut ini beberapa jawaban dapat dikemukakakn Pertama, karena di Jawa pada umumnya orang tidak mempermasalahkan wewenang hukum Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agma. Kenang-kenangan bahwa Raad Agama dahulu, nama yang masih sering disebut masyarakat. Biasa memeriksa dan memutuskan perkara kewarisan belum terhapus sama sekali. Lagi pula, pola-pola umum lalu lintas hukum tidak sepenuhnya diketahui oleh masyarakat. Kalau Pengadilan Agama mereka kenal sebagai tempat menyelesaikan perkara pernikahan, Pengadilan Negeri mereka angap sebagai tempat berperkara pidana. Karena itu, kecuali kalau dilarang oleh pengacara atau penasihat hukum atau diberi penjelasan oleh Pamong Praja, rakyat tetap akan menghadap pada pengadilan yang lebih mereka kenal dalam menyelesaikan masalah-masalah kekeluargaaan. Kedua, pengalihan wewenang mengadili soal kewarisan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri ternyata hanya kebetulan saja efektif pada beberap keadaan dan beberapa tempat tertentu di Jawa. Di tempat yang pengaruh Islamnya kuat, rakyat senantiasa menghadap Pengadilan Agama yang mereka anggap tepat dan benar dalam menyelesaikan perkara kewarisan, walaupun Pengaidlan Agama itu sendiri mungkin akan meneruskan perkara-perkara itu ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, lingkungan sosial, agama dan politik sangat berpengaruh dalam memilih pengadilan mana yang akan dimintai bantuannya. Karena sanksi-sanksi keagamaan, nampaknya kedudukan Pengadilan Agama jauh lebih kuat daripada penetapan perantara-perantara yang berlaku. Lagipula, bagi mereka yang meminta bantua Pengadilan Agama, apapun yang dilakukan dan diputuskan di sana, dianggap bersifat Islam. Ketiga, cara-cara penyelesaian masalah kewarisan di Pengadilan Agama jauh lebih informal, kekeluargaan dan “tidak menakutkan” kalau dibandingkan dengan Pengadilan Negeri. Bersamaan dengan kelebihan lain yang ada pada mereka, Pengadilan Agama dapat bertindak cepat. Jarang sekali Pengadilan Agama memerlukan waktu lebih dari beberapa hari untuk menyelesaikan satu masalah kewarisan, sedangkan di Pengadilan Negeri penyelesaian perkara itu bisa berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun kalau salah satu pihak banding atau kasasi. Dari uraian di atas jelas bahwa pendapat pendukung resepsi yang menyatakan bahwa huklum Islam tidak mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia dan bukan merupakan kenyataan hukum dalam masyarakat, tidaklah benar. Memang pendapat pada kalimat terakhir ini hanyalah alasan belaka, sedang tujuannya, seperti yang dikemukakakn oleh Hazairin, adalah untuk merintangi perkembangan Islam di Indonesia, mencabut atau menghapuskan kedudukan Hukum Islam dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pendapat Ter Haae yang senantiasa mempertentangkan Hukum Islam dengan hukum adat secara tajam, tidaklah pula didukung oleh kenyataan masyarakat. Di semua daerah di seluruh Nusantara rakyat sendiri tidak mempertentangkan adapt dengan Islam. Di minangaba sendiri misalnya, adat dan Islam dapat hidup berdampingan dan telah ditentukan pula tempat dan kedudukan masing-masing dalam masyarakat. Karena itu, ada penulis yang mengatakan bahwa “sebenarnya konflik Hukum Islam dengan Hukum Adat itu adakah isu buatan rezim kolonial untuk mengukuhkan penjajahan Belanda di Indonesia Daniel, 1972. Dalam hubungan dengan teori resepsi ini perlu dikemukakan bahwa menentukan hukum yang berlaku adalah tindakan politik hukum. Sebagai orang yang menguasai pelaksanaan politik hukum pemerintahan kolonial pada bagian kedua permulaan abad ke 20 ini Ter Haar menyatakan dengan tegas bahwa Hukum adat, bukan hukum kewarisan Islam yang berlaku bagi orang Islam di Jawa dan Madura. Pendapat Ter Haar ini diterima oleh pemerintah Belanda, yang tercermin dalam pasal 134 ayat 2 1929 yang berbunyi “dalam hal terjadi perdata antara sesama orang Islam, akan disesuaikan oleh hakim agam Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.” Pasal 134 2 ialah, menurut Hazairin, yang menjadi landasan legal teori resepsi yang sudah dikembangkan secara sistematis pada permulaan abad ke-20 dan dilaksankan melalui S. 1931 53 1937 116. seperti telah dikatakan di atas, teori tersebut mengajarkan bahwa hukum Islam baru boleh dijalankan bilamana ia telah menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat adat, sedangkan menurut Al-Qur’an Hukum Islam itu berlaku dan mesti dilaksanakan terhadap seorang sejak ia masuk agama Islam, semenjak dia mengucapkan syahadat dua kkalimat syahadat. 74 Al-Qishthu, Vol. 6 No. 2, 2018 Al-QISTHU Institut Agama Islam Negeri IAIN Kerinci Simpulan Usaha untuk mengembalikan dan menempatkan Hukum Islam dalam kedudukannya semula terus oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Baik pada masa pra pemerintahan Belanda hingga menjelang kemerdekaan. Dalam hal ini banyak pula didukung oleh Sarjana terkemuka saat itu. Hukum Islam telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia seiring dengan masuknya agama tersebut di bumi Nusantara. Dan masyarakat Islam Indonesia sepenuhnya menerima Hukum Islam sebagai satu kesatuan Hukum yang mengatur kehidupan mereka. Pada kenyataanya sejak awal Hukum adat tidaklah bertentangan dengan hukum Islam. Pertentangan yang ditimbulkan adalah sebauh rekayasa Kolonial Belanda untuk memojokkan dan melemahkan Islam. Adalah usaha kita untuk terus memperluas kajian Hukum Islam agar manfaatnya dapat selalu dirasakana oleh Umat Islam khusunya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Daftar Rujukan Taufik Abdullah & Sharon Siddique 1988 Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta Cet. I terj Syaifuddin Zuhri 1979 Sejarah kebangkitan Islam. Bandung al-Maarif Al-Naqulb al-atas 1981 Tentang Islamisai Kasus Kepulaun Melayu dalam Islam dan Sekularisme. Bandung Pustaka Hamka 1974 Mazhab Syafi’I di indonesia’ dalam anatara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Jakarta Bulan Bintang Moch. Koesnoe 1982 Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Kallurang 11-12 Januari De Josselin de Jong seperti dikutip Kusumadi Pelajaran Tata Hukum Indonesia 1990. UI press. Jakarta 1990, hal 60 Supomo, Djokosoetomo 1955 Sejarah Politik Hukum Adat 1609-1848. Jakarta Djambatan Soekanto 1981 Meninjau Hukum Adat Indonesia. Jakarta Rajawali Benda 1968 The Crescent and the Rising Sun,. van Hoeve Ltd. The Hague, Bandung Soetandyo Wignjosoebroto 1995 Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Bab 2, Perkembangan awal 1840-1860, kebijakan untuk membina tata hokum secara sadar, Jakarta Raja Grafindo Perkasa Sajuti Thalib 1980 Reception aa Contraario. Jakarta Akademica Hazairin 1964 Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta Jakarta Daniel S. Lev 1972 Islamic Courts in Indonesia, University of California Press, London ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Islamisai Kasus Kepulaun Melayu dalam Islam dan Sekularisme. Bandung Pustaka Hamka 1974 Mazhab Syafi'I di indonesia' dalam anatara Fakta dan Khayal Tuanku RaoSyaifuddin ZuhriSyaifuddin Zuhri 1979 Sejarah kebangkitan Islam. Bandung al-Maarif Al-Naqulb al-atas 1981 Tentang Islamisai Kasus Kepulaun Melayu dalam Islam dan Sekularisme. Bandung Pustaka Hamka 1974 Mazhab Syafi'I di indonesia' dalam anatara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Jakarta Bulan Bintang Moch. Koesnoe 1982 Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Kallurang 11-12 Januari
A4mTHC.